WAE REBO THE HEART OF MANGGARAI




Akhirnya pada pukul 19.00 WITA kami berdua tiba di pemukiman suku wae rebo, setelah 8 jam pendakian dalam derasnya hujan dan pekatnya kabut. Tidak sedikit rintangan yang menghibur kami dalam pendakian ini, mulai dari beberapa kali terperosok jurang akibat rapuh dan licinnya jalan setapak, menggilannya birahi lintah-lintah hutan akibat hujan hingga terus menerus menghinggapi tubuh kami, sampai beratnya speda yang harus kami pikul selama pendakian.

Sampai disana kami di hantar oleh bapa Maximus ke rumah niang utama [omah tembong] disana kami di sambut oleh para mama tua. Di pemukiman suku wae rebo saat itu memang hanya ada para mama tua, bapa tua, anak balita, dan sedikit pria dan wanita, karena ada undangan kenduri di keluarga bapa thomas di Denge. Pantasan saja saat kami meminta izin pendakian pada bapa Frans selaku ketua lembaga suku wae rebo di denge, kami di beritahu bahwa pemukiman suku wae rebo hari itu pasti sepi, beliau juga mengingatkan kami agar menitipkan speda di rumah bapa Basius karena medan ke pemukiman suku wae rebo sangat berat, terjal, banyak jurang, dan rawan longsor. Tapi dasar ngeyel kami bilang saja “bapa Frans, kalo kami tidak kuat angkat nanti spedanya kami buang di jurang saja, he..he..”

Saat itu hari minggu (9/nov/2010) kami memulai perjalanan berspeda kami dari masjid di dusun dintor yang berada tepat di bibir pantai pada pukul 7 pagi. Saat itu dintor ramai, karena hari minggu adalah hari pasar untuk dintor. Asal tahu saja sampai saat ini di kabupaten manggarai tengah budaya pasar harian masih di pakai masyarakat di sana, sehingga para pedagang akan berpindah dari satu desa ke desa lainnya setiap hari begitu pula para pembelinya. Dalam perjalanan kami menuju pemukiman suku wae rebo kami sering bertemu para penduduk wae rebo yang membawa hasil buminya yang umumnya berupa kopi, sirih dan buah markisa untuk di jual ke dintor sekaligus untuk menghadiri acara kenduri di denge. Salah seorang tokoh seniman wae rebo dan juga terkenal paling lucu yaitu bapak matias bahkan memberi kami berdua buah markisanya saat bertemu di tengah-tengah pendakian.

Perjalanan bersepeda ke wae rebo ini kami mulai dari mataram (30/okt/2010). Setelah melewati beberapa pulau dan melihat keragaman budaya serta peninggalan peradaban masa lalu, kami juga sempat mampir menjenguk embahnya cicak alias Komodo di pulau rinca hingga akhirnya tiba di pemukiman suku wae rebo. Tanpa bertele-tele lagi inilah deskripsi saya tentang suku wae rebo yang dijuluki the heart of manggarai setelah satu minggu hidup bersama mereka.

Bagi mereka tiada salam tanpa senyuman. Hal ini adalah fakta yang kami rasakan karena kedatangan kami bertepatan dengan keberangkatan hampir seluruh warga suku wae rebo ke Denge untuk menghadari kenduri sehingga sepanjang pendakian kami selalu bertemu warga wae rebo yang turun ke denge. Hal yang paling saya salut dari suku wae rebo ini adalah tiada perbedaan perlakuan bagi tamu. Bayangkan saja kedatangan kami disambut oleh para tetua adat dan beberapa pria yang masih tertinggal di desa, para ibu berkumpul untuk memasakkan kami makanan padahal umumnya jam kedatangan kami adalah jam tidur mereka yaitu pukul 7 malam. Selain itu ada ibu yang langsung membawakan selimut dan bantal dari rumahnya masing-masing beserta baju ganti untuk kami pakai. Padahal kami bukan pejabat lho...

Kami bahkan mengobrol hingga pukul 11 malam dengan para pria dan para tetua adat, saat itu para ibu tetap berada di dapur sampai kami meminta izin untuk istirahat, baru kemudian mereka pamit ke rumah masing-masing. Lebih mengagetkannya lagi saat mereka mengucapkan “Neka rabo” yang artinya jangan marah atau dalam bahasa kita umumnya diartikan maaf atas kurang layaknya penyambutan mereka. Hal ini bukan hanya berlangsung satu hari bahkan setiap waktu makan (3x) dan Snack (2x) selalu ada para pria yang datang untuk menemani kami ngobrol dan para ibu juga selalu menunggu kami di dapur sampai kami selesai makan baru kemudian mereka pamit ke rumah masing-masing.
Cara mereka melepas kepergian orang pun sedikit berbeda dengan budaya kita pada umumnya yang selalu berucap “hati-hati di jalan” namun disana saat mereka melepas kami pergi saya selalu mendengarkan kata-kata “baik-baik di jalan”. Bahkan mereka selalu memberi kami teman jalan saat ingin turun ke dintor, mereka beralasan ada urusan di denge padahal kami rasa mereka hanya ingin menemani dan membantu kami. Hal ini bukan tanpa alasan karena mereka selalu menawarkan untuk membantu mengangkat sebagian bawaan kami. Rasa salut saya pada mereka tidak berhenti sampai disitu, karena para warga di sana bahkan sering memaksa kami untuk bertandang kerumahnya dan di jamu, bahkan pernah pada pagi hari kami bertanya tentang buah markisa, saat siang sekeranjang buah markisa di berikan pada kami.WOW nikmat abizz...


Bagi mereka menjaga adat adalah hidup mereka. Berbeda dengan suku badui yang tertutup dengan peradaban, suku wae rebo sangat terbuka dengan peradaban. Di pemukiman suku itu tidak ada anak yang berumur 7-20 tahun karena para anak mereka merantau untuk bersekolah, mulai SD sampai kuliah bahkan bekerja di perantauan. Mereka juga berjualan hasil bumi mereka ke dintor dan manganut kepercayaan Katolik, namun mereka tetap terus-menerus menjaga budaya leluhur mereka. Mulai dari upacara pemberian nama anak, pernikahan, kematian, buka kebun, penyambutan awal tahun, hingga upacara pembuatan rumah niang, mereka selalu mengiringinya dengan ritual adat.

Beruntung saat kami bertandang kesana kami di beritahu bahwa mereka akan melaksanakan upacara penyambutan tahun baru di awal bulan beko atau bertepatan dengan tanggal 15 november tahun masehi. Sehingga kami yang awalnya hanya ingin melihat-lihat saja dan melanjutkan perjalanan bersepeda ke danau kalimutu akhirnya mengubah schedule kami untuk menginap selama satu minggu hingga tanggal 16 november.

Upacara penyambutan tahun baru suku wae rebo dinamakan Penti, acaranya di mulai pada pukul 8 pagi tanggal 15 dan berakhir pada pukul 6 pagi tanggal 16. Rangkaian acaranya cukup panjang mulai dari doa bersama di dalam omah tembong, membagi tiga kelompok yang di bagi ketiga penjuru desa, di lanjutkan maincaci, dan doa di kuburan leluhur kemudian mengantar leluhur ke omah tembong untuk turut serta dalam rangkaian penti, pada malam harinya di lakukan penyembelihan babi untuk setiap rumah dan diakhiri dengan Sanda mulai pukul 9 malam hingga pukul 6 pagi. Pada acara sanda seluruh warga suku wae rebo menyanyi dan menari sambil berputar mengelilingi omah tembong.

 
Dalam pelaksanaan upacara penti ini kami melihat budaya gotong royong yang luar biasa. Mulai tanggal 11 para pria sudah bekerja membuka jalan setapak untuk para saudara mereka yang datang dari denge atau rantauan. Karena bagi orang-orang suku wae rebo upacara penti adalah momen mudik bagi mereka. Pembukaan jalan bukan hanya menebas rumput ataupun semak belukar, tapi juga merapikan batu-cadas yang mengganggu jalan setapak mereka, dan itu adalah momen yang luar biasa bagi saya melihat langsung kecakapan puluhan orang meratakan tebing dengan hanya menggunakan parang dan batang-batang pohon. Pembersihan jalan ini dipimpin langsung oleh bapa petrus, beliau adalah sang maestro serba bisa di suku wae rebo.

Selain itu mereka juga membersihkan kuburan para leluhur mereka secara gotong royong. Saat tidak sedang gotong royong mereka turun ke denge, dintor atau lemboruntuk membeli ayam, beras, minyak dan kebutuhan upacara adat penti lainnya. untuk para wanita mereka menyiapkan makanan dan membersihkan rumput di lapangan tempat pelaksanaan maincaci dan ritual lainnya.

Hal lain yang membuat kami salut pada mereka pada saat mereka menghargai sesama warga wae rebo lainnya. Bayangkan saja jika warga suku wae rebo ada yang memiliki hajat di desa lain maka mereka semua akan berangkat meninggalkan mata pencarian mereka, balita dan para lansia minimal selama dua hari, karena sulitnya medan yang harus mereka tempuh untuk keluar dari hutan mereka. Sekedar gambaran, mereka tinggal di lereng yang dikelilingi pegunungan yang sering berkabut, padahal pintu keluar hutan terdekat mereka berada di dekat pantai.

Omah niang atau rumah adat manggarai mereka adalah adalah salah satu cerminan dari rasa tanggung jawab mereka dalam menjaga adat dan tradisi leluhur mereka. Di saat seluruh masyarakat di sekitar mereka telah menggunakan konsep rumah modern, mereka tetap membangun rumah niang dan menempatinya. Padahal untuk membangun rumah niang tidaklah mudah apalagi untuk menghuninnya, karena satu rumah niang umumnya dihuni oleh 6 keluarga dan untuk omah tembong di huni oleh 8 keluarga. Omah tembong ini dihuni 8 keluarga karena dalam sejarahnya suku wae rebo ini awalnya memiliki 8 empo [leluhur] sehingga omah tembong memiliki 8 kamar dan 8 tungku sebagai penghormatan pada leluhur mereka. Bayangkan saja beberapa keluarga menghuni satu rumah, kalo mereka tidak memiliki rasa saling menghargai dan memaklumi perbedaan apa yang terjadi. Inilah bukti dan bentuk rasa tanggung jawab mereka dalam menjaga adat dan tradisi mereka.

Ada satu hal lagi yang membuat Kami kagum pada mereka. Saat beberapa kali kami di undang untuk bertamu di rumah warga wae rebo, kami selalu melihat adanya gulungan ijuk dan ilalang. Ketika kami tanya untuk apa gulungan ijuk dan jerami itu, mereka bilang itu untuk persiapan membangun 3 rumah niang baru. Padahal tempat mendapatkan ilalang terdekat adalah di pulau mules dan untuk ijuk harus mereka beli di daerah lain. Dan ketika kami tanya kapan mereka akan mulai membangun rumah niang lagi, mereka menjawab saat izin dari dinas kehutanan sudah di dapat. Wow... Bayangkan suku yang tinggal di tengah hutan dan di kelilingi pegunungan, jangankan orang dinas kehutanan semenjak indonesia merdeka saja kepala desa mereka baru satu kali mengunjungi mereka, itupun karena paksaan dari LSM dan Dinas Pariwisata. Suku yang tidak memiliki sarana penunjang kesehatan, pendidikan, listrik bahkan jalan yang layakpun mereka tidak punya tapi mereka mau memahami aturan dinas kehutanan dan mau juga mematuhinya.

Kembali menyinggung upacara penti, upacara penti adalah upacara penyambutan tahun baru bagi mereka dan menggunakan bulan sebagai acuan seperti tahun hijriah. Peletakan bulan pertama mereka jatuh pada bulan beko, bulan beko dinamai berdasar nama tumbuhan yang akan mulai tumbuh di bulan itu yang juga menandakan di mulainya musim tanam. Hal ini berbeda dengan peletakan bulan pertama pada umumnya kalender dunia yang mengacu pada siklus awal matahari ataupun bulan. Bukan hanya bulan beko saja yang menggunakan nama tumbuhan, hampir semua bulan disuku wae rebo menggunakan nama tumbuhan, binatang ataupun siklus alam yang memiliki tanda-tanda tertentu pada saat datangnya bulan itu. Hal ini membuktikan keselarasan kehidupan mereka dengan alam sekitarnya.

            Keselarasan mereka dengan alam juga terbukti dengan bergantinya mata pencaharian mereka, dari yang mulanya petani jagung atau sayur mayur menjadi petani kopi. Kesadaran mereka akan bahaya dari efek proses penanaman jagung mulai muncul bukan dari longsor ataupun bencana alam, tapi dari pemikiran bahwa jika mereka terus menggali tanah untuk penggemburan lahan jagung makan tanah lereng mereka perlahan-lahan akan habis dan hanya akan menyisakan lereng batuan cadas. Sekali lagi kesadaran mereka akan pentingnya menjaga alam ini membuat saya takjub pada masyarakat yang letaknya sangat terisolasi ini, padahal sebagai mana umumnya kita ketahui kopi bukanlah tanaman yang ditanam akan langsung berbuah banyak. Keputusan mereka ini memiliki konsekwensi yang besar pada penghidupan mereka.

            Jika anda berkeliling wilayah hutan di sekitar pemukiman suku wae rebo maka anda akan mendapati beberapa aliran sungai kecil maupun besar dan jumlah aliran sungai sama dengan 50 tahun yang lalu. Jumlah sumber air yang tetap sama ini bukanlah suatu keajaiban, tapi hasil dari kesadaran masyarakat suku wae rebo akan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Penjagaan pelestarian hutan pada awalnya di lakukan dengan menhentikannya upacara randang atau pembukaan wilayah kebun baru dengan menebas hutan, selain itu dengan aktifnya para warga mengumpulkan benih pohon-pohon kayu besar seperti kayu maras, worok dan lain sebagainnya, untuk kemudian mereka bagi secara merata di hutan. Saat ingin membangun rumah niangpun mereka meminta izin pada dinas kehutanan terlebih dahulu baru kemudian menebang pohon.

Kearifan mereka juga tercermin dari kemandirian mereka dalam membuat jalan setapak yang layak untuk sebagai sarana transportasi pengangkutan hasil kebun mereka ataupun pengangkutan pangan yang mereka beli dari dintor dan bukannya mengeluh pada pemerintah yang walau sudah 65 tahun merdeka tapi tidak mau memberi mereka jalan yang layak. Kami berdua sudah beberapa kali mendaki gunung ada yang di pulau jawa juga ada yang di lombok, dan jujur saja bagi kami medan menuju pemukiman suku wae rebo ini masih terlalu parah untuk kami berdua. Padahal mereka sudah dua tahun ini terus memperbaiki jalan setapak mereka, dengan menghancurkan batuan-batuan cadas di tebing-tebing yang curam hanya dengan perkakas yang sangat sederhana.

Menurut bapak isidorus selaku pemimpin para tetua adat, sejarah awal mula terbentuknya suku wae rebo adalah saat terjadi perselisihan nenek moyang mereka selaku anak sulung dengan raja todo saat itu selaku anak bungsu. Karena tidak ingin terjadi konflik berkepanjangan sang anak sulung kemudian pergi dari kerajaan todo dan dituntun oleh seekor musang ke pemukiman wae rebo saat ini. Disitulah kemudian dia menetap dan mulai membentuk kelompok kecil masyarakat baru. Setelah konflik mereda sang bungsu ingin memberikan jabatan raja pada sang sulung namun si sulung menjawab “saya mau menjadi raja jika kamu bisa menyelasaikan seluruh masalah kerajaan todo, jika kamu tidak mampu maka jadilah raja dan saya yang akan menyelesaikan masalah kerajaan todo” mulai saat itu hakim kerajaan todo di pegang turun temurun oleh suku wae rebo.

Kembali ke waktu pendakian kami. Saat kami mulai mendaki ke pemukiman suku wae rebo ini kami di iringi-iringi oleh puluhan anak kecil asli suku wae rebo yang bersekolah di denge. Saat kami tanya apakah mereka sering pulang, mereka bilang kadang sebagian dari mereka ada yang pulang setiap sabtu sore dan turun kembali pada minggu siang. Bayangkan saja anak yang umurnya sekitar 7-12 tahun harus melewati medan seperti itu. Saat mencapai daerah wentijo, sebuah sungai yang memiliki banyak batu-batu besar para anak kecil tersebut mandi dan kami melanjutkan perjalanan kami kembali tanpa mereka. Kami juga di ceritakan oleh bapa pilipus bahwa jika anak-anak itu pulang dari denge mereka pasti membawa beras, minyak, garam dan kebutuhan  pangan lainnya, jika tidak mereka pasti mencari kayu bakar disepanjang jalan yang mereka lewati untuk di bawa kerumah mereka masing-masing.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan keseharian para pria dewasa di suku wae rebo, karena mereka menanam 2 jenis kopi yang berdeda dan memiliki masa panen yang juga berbeda bulan. Maka kegiatan keseharian mereka selain berkebun adalah mengangkut kopi minimal 30kg untuk di jual di denge dan saat mereka kembali pulang mereka akan mengangkut beras dan kebutuhan pangan lainnya minimal 25 Kg. Kebiasaan naik turun gunung dengan medan dan bawaan yang berat ini memberikan efek kelincahan dan kekuatan pada tubuh para pria suku wae rebo ini. Hal inilah yang menyebabkan suku wae rebo sangat disegani dalam permainan caci.

Dalam budaya manggarai permainan Caci atau biasa disebut maincaci adalah pertarungan dengan alat pukul dan tangkis. Permainan ini memiliki aturan satu kali pukul dan satu kali tangkis sampai salah satu dari keduanya meminta untuk berhenti. Walaupun suku wae rebo ini minoritas, namun dari lima delegasi kabupaten manggarai tengah suku wae rebo mampu merebut jatah 2 delegasi.Wow... padahal mereka cuma sebuah dusun kecil dengan hanya berisi 2 pejabat RT, namun diberi kepercayaan untuk mengirimkan 2 delegasi.
Menurut bapa petrus selaku maestro permainan caci saat ini atau biasa mereka sebut Jantan, maincaci biasanya diadakan sebagai acara tambahan saat upacara pernikahan, randang ataupun penti. Dan menurutnya main caci berbeda dengan tarung bebas karena maincaci memberikan kesempatan yang adil bagi para pemainnya, selain itu para pemain caci bukan datang untuk mencari musuh tapi untuk mencari teman. Menurut mereka jika para pemain caci sudah beberapa kali bertarung dan selalu seimbang atau jumlah kalah menang mereka sepadan maka mereka akan menjadi seperti saudara, sehingga mereka dilarang untuk bertanding kembali. Hal ini dikarenakan menurut pengalaman orang-orang manggarai, sesama saudara jika bertanding maka akan terjadi luka yang fatal bahkan hingga berujung pada kematian.

            Selain bercocok tanam kopi, masyarakat disana juga menanam tembakau, sirih, pinang, keladi, labu siam, markisa dan lain sebagainya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Para wanita disana juga memiliki kegiatan lain yaitu menenun kain. Motif kain tenun suku wae rebo sangat unik dan menggunakan benang-benang berwarna cerah. Saat disana saya sempat meminta mama katarina untuk mengajari saya menenun dan beliau sangat senang sekali, tapi dia sempat bilang “ hei anak, tidak ada anak lelaki yang menenun’’ kemudian saya jawab saja “ dulu memang tidak ada mama, tapikan sekarang sudah ada saya, he..he..”. Jika saya kembali memiliki kesempatan kesana saya akan pasti akan berguru tenun pada beliau.

Sekedar mengingatkan jika anda kesana jangan heran jika pagi siang malam anda akan disuguhi sayur labu siam, karena itu adalah sayur kesukaan mereka. Sedangkan untuk sekitar jam 9 pagi dan 4 sore anda akan disuguhi jajan berupa keladi atau talas sepiring penuh per orang. Buat para penggila kopi pemukiman suku wae rebo adalah surga bagi anda, karena minimal anda akan disuguhi kopi terbaik mereka minimal 5 kali sehari dan kalo anda mau nambah mereka pasti sangat-sangat senang sekali. Oh ya jika anda berkunjung kesana sampaikan salam saya pada bapa isidorus selaku pemimpin tetua adat dan seluruh warga wae rebo atas pelajaran hidup yang mereka berikan pada saya. Dan jangan lupa menyapa mereka dengan kalimat “apa pande ?” dan jika anda pamit jangan lupa teriakkanlah “Mohe wae rebo”.

0 komentar: